Guru yang Baik Adalah Guru yang Tidak Baik


       Ada yang unik di salah satu program studi yang saya ikut mengelola, yaitu mahasiswa-mahasiswa program studi tersebut sering melontarkan komplain atas seorang dosen yang mereka anggap tidak dapat mengajar dengan baik.
Bahkan ada mahasiswa yang mengatakan bahwa indeks prestasinya rendah karena harus mengikuti kuliah sang dosen selama tiga semester.
       Namun tidak ada sama sekali mahasiswa yang mengeluhkan sistem pengajaran salah satu kolega sang dosen yang notabene juga tidak mengajar dengan baik. Hal ini diakibatkan karena di akhir semester hampir semua mahasiswa mendapatkan nilai A.
       Menurut hemat saya, mahasiswa-mahasiswa tersebut hanya melihat masalah ini dari sisi kepentingan sesaat mereka. Mungkin sangat mengherankan bagi mereka (bahkan bagi para staf pengajar lain) mengapa saya mati-matian mempertahankan agar sang dosen tetap dapat mengajar.
       Saya kembali teringat film Mandarin yang berjudul pendekar dewa mabuk yang dibintangi oleh Jackie Chan. Dalam film ini, atas perintah orangtuanya, Jackie digambarkan menjadi seorang murid dari seorang guru silat dewa mabuk yang sangat disegani. Sang murid merasa pelajaran silat tersebut sama sekali tidak menarik dan sang guru benar-benar membosankan, bahkan menjengkelkan. Contohnya, digambarkan bagaimana ia harus menimba air dengan menggunakan sendok sambil melakukan sit-up, sementara ia melihat sang guru “ngorok” sehabis mabuk.
       Tak tahan dengan sistem pendidikan ini sang murid melarikan diri. Dalam perjalanannya ia bertemu dengan tokoh penjahat utama. Singkat cerita ia dihajar habis-habisan dan dipermalukan karena terpaksa terbirit-birit dengan hanya menggunakan pakaian dalam. Di sini sang murid baru sadar bahwa ia belum memiliki cukup ilmu untuk menghadapi dunia nyata. Ia merasa harus kembali ke gurunya, meski hal ini bukan merupakan perkara mudah karena sang guru sudah terlanjur kecewa. Film ini berakhir seperti sudah diduga, dengan pengertian sang murid dan kerja keras kedua pihak, ia kemudian dapat mengalahkan tokoh kejahatan terhebat sekalipun.
       Apa yang diceritakan oleh Jackie Chan saya kira tidak ada bedanya dengan apa yang terjadi di dalam kelas pada program studi yang saya ceritakan. Sang guru yang mati-matian saya pertahankan adalah satu-satunya peneliti bertaraf internasional yang kami miliki. Tahun ini hanya beliau yang mendapatkan sekaligus dua penghargaan publikasi internasional dari universitas.
Bukannya saya menolak pendapat bahwa guru yang baik adalah guru yang dapat dengan cepat membuat murid paham bagaimana menggunakan persamaan Newton untuk menghitung kecepatan apel yang jatuh dari atas gedung. Namun untuk level universitas, guru yang baik adalah guru yang dapat melaksanakan semua poin tri-dharma perguruan tinggi. Jadi, guru ideal di sini (meski sulit sekali untuk didapatkan) adalah guru yang dapat mengajar dengan baik, yang merupakan peneliti berkelas internasional, dan yang tidak segan-segan untuk turun ke masyarakat.
       Guru yang dapat mengajar dengan baik cukup banyak ditemukan di universitas-universitas besar, namun guru yang baik sekaligus peneliti berkelas internasional sangatlah langka. Walaupun demikian, saya melihat ada beberapa staf pengajar yang masih dapat bertahan sebagai peneliti di tingkat internasional. Meski mereka bukanlah guru yang mudah difahami mahasiswa, dalam pandangan saya merekalah pendekar sakti yang diceritakan di atas. Hanya mereka yang dapat menuntun mahasiswa untuk menuju the real research.
       Saat ini riset berskala internasional sangat penting untuk mendongkrak posisi universitas-universitas kita yang sudah sangat terpuruk di tingkat Asia saja. Apalagi jika sebuah universitas telah mengikrarkan diri untuk menjadi sebuah reseach university, maka seluruh sivitas akademika harus saling bahu membahu untuk meningkatkan porsi penelitian. Tanpa riset yang sesungguhnya, universitas hanyalah sekolah lanjutan yang berani meng-klaim diri sebagai tempat mengembangkan ilmu. Sementara lulusannya sama dengan pendekar baru yang masih kurang ilmu silatnya untuk menghadapi dunia nyata. Saya sangat khawatir, jika pendekar-pendekar muda ini segera bertemu dengan penjahat yang sangat sakti, yaitu globalisasi.
       Ketika kuliah S3 dahulu, saya pernah memiliki seorang dosen yang sulit sekali difahami baik tulisan maupun ucapannya. Boleh dikatakan, saat itu saya merasakan bencana besar! Namun anehnya, beliau memiliki satu grup riset yang sangat besar dan hampir semua mahasiswa di kelas itu ingin menjadi kandidat doktor di bawah bimbingan beliau. Hal ini dapat terjadi karena saat itu beliau merupakan seorang leader dalam komunitas dunia untuk bidang yang ia geluti. Di lain pihak, seorang profesor yang sangat saya sukai kuliahnya, memiliki karakter dan nasib yang hampir bertolak belakang. Bagi saya, dia adalah seorang profesor yang sabar, bijaksana, dan dapat menjelaskan materi kuliah secara gamblang. Meski demikian, hanya beberapa kandidat doktor saja yang memilih dia.
       Suatu hari institut kami merayakan ulang tahun salah seorang pendiri institut. Saking sepuhnya, beberapa murid beliau sudah menjadi profesor-profesor senior yang hampir pensiun. Seorang di antara mereka maju ke mimbar dan menceritakan betapa ia sering tertidur dalam perkuliahan sang guru akibat monotonnya kuliah. Namun akhirnya ia menyadari betul bahwa guru yang paling tidak baik mengajarnya adalah guru terbaik baginya, karena ia terpaksa belajar sendiri untuk memahami isi kuliah sang guru. Usaha tersebut merupakan latihan pertama baginya untuk secara mandiri memahami suatu subyek ilmu, suatu hal yang kemudian ia temukan sudah mutlak dalam penelitian program doktor. Jika seorang mahasiswa tidak pernah mampu untuk belajar secara mandiri, maka ia tidak akan pernah mampu melakukan the real research, karena di sana terlalu banyak hal baru yang belum pernah dijamah manusia yang harus ia pelajari sendiri.(taken from http://netsains.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar