Cerita Guru di Mata Siswa


       Teman itu bercerita perihal mantan guru SD-nya dulu. Dia teringat masa kecil ketika itu suka iseng “mencuri” barang milik teman kelasnya. Tujuanya bukan untuk memiliki barang itu. “Sekedar merasa senang saja jika temannya kelihatan susah” lanjutnya. Gara-gara itu kepala sekolahnya “marah besar”, dan diputuskan ia hendak dikeluarkan dari sekolah itu.
        Pak gurunya, guru kelasnya, meminta kepada kepala sekolah supaya ia diampuni dan diberi kesempatan memperbaiki kesalahannya. Si guru itu mengatakan “kesalahan anak ini adalah kesalahannya juga, saya telah gagal mendidik anak ini”. Pernyataan yang sederhana guru itu telah mengubah segalannya. Hati sang kepala sekolah luluh. Marahnya padam. Ia diam, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
        Esok pagi hari berikutnya, kabar gembira diterima teman saya itu. Ia “lolos” dari pasal maut dikeluarkan dari sekolah. Sampai akhirnya, tamat juga ia dari SD itu. Teman saya itu sungguh tak bisa membayangkan, apa yang mesti dia lakukan untuk “membalas” guru yang telah “menyelamatkan” dia. Ia merasa menjadi orang beruntung.
        Suatu kali ketika sudah menjadi “orang” – ia sekarang menjadi pimpinan di salah satu bank di negeri ini – ia mengunjungi si guru itu. Dia membawakan sesuatu sebagai tanda baktinya. Sebelum pulang ia berniat memberikan sejumlah uang yang telah disiapkannya dari rumah. “Saya melakukannya kala itu bukan untuk uang nak” katanya sambil menepis pemberian uang darinya. Untuk kedua kali dibuat malu hati sahabat saya itu.
        Saya pun tertegun mendengar ceritanya. Pak guru, dengan uban putih yang telah menyelimuti kepalanya itu, tetaplah sosok yang teramat istimewa bagi teman saya itu.
Setiap dari kita mempunyai kesan dan pengalaman berbeda tentang peran dan sosok guru. Seandainya dicarikan referensi, ratusan referensi pu barangkali tak cukup mampu untuk mendeskripsikan guru ideal ini.
Standar guru “baik”?
        Kalau di koran atau pemberitaan televisi ramai dibicarakan tentang sertifikasi guru, apa hubungannya program itu dengan seorang guru yang “baik”. Melalui program itu mau mengapresiasi guru yang sudah dianggap “baik”? atau terobsesi mencari standar guru yang “baik”?
        Guru yang “baik” tidak mengenal batas di mana ia berada. Guru baik swasta dan guru baik negeri, apa bedanya?. Kuota sertifikasi guru negeri lebih banyak. Mengapa? Apa karena seolah-olah guru negeri yang “baik” kelihatan lebih banyak?. Lebih rumit mencari guru “baik” lewat program ini, tatkala fakta di lapangan berbicara bahwa program ini ternyata lebih “menggoda” guru menjadi tidak “baik”. Membuatnya beramai-ramai berlomba membuat data “aspal” agar item-item dokumen sertifikasi – prortofolio terisi lengkap. Atau, ayo ramai-ramai saling tukar jawaban saat “post test” di akhir pelatihan sertifikasi.
Ketidakhati-hatian mengatur kebijakan guru yang “baik” mudah jatuh dalam antitesisnya. Guru tergoda, guru juga manusia, menjadi tidak baik, meski mulanya sebenarnya ia “baik”.
        Berbeda dengan pendekatan struktural, yang nampak jelas dan sistematis seperti di atas, pendekatan kultural mendalilkan sesuatu yang lebih personal dan komunal.
Dengarlah suara seorang ibu yang begitu bangga dengan gurunya. “Saya dulu merasa bodoh belajar matetmatika”. Pelajaran matematika tidak pernah menarik dirinya. “Sering saya merasa takut setiap kali melihat jadwal esok pagi ada mata pelajaran matematika. Sekarang segalanya telah berbeda, saya mengajar matematika terapan di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta”. Pandangan terhadap pelajaran ini berbeda.
        Pandangannya terhadap pelajaran ini berubah. “Saya bersyukur sekali ketika di SMA saya diajar guru yang luar biasa” jelasnya dengan antusias. Dalam pandangannya tidak terlalu pandailah sebenarnya guru itu. Yang membuatnya terkesan adalah, sang guru hampir tidak pernah mengatakan muridnya bodoh. Dia selalu tersenyum ketika muridnya belum benar mengajarkan latihan. Kesabarannya sungguh dirasakannya. Guru itu tidak hanya mengajar matematika, namun juga membuat pelajaran itu mudah dipahami. Ia juga mengajar bagaimana murid “mencintai” matematika, lewat caranya mengajar.
        Guru yang “baik” seolah mengajar dan melihat anak didiknya tidak saja lewat mata pikirannya. Ia mendayagunakan keterampilan pedagogi-nya, dan melengkapinya dengan hati. Rasa cinta yang tulus telah menggetarkan hati sang anak. Si anak merasa aman, karena sang guru adalah cahaya api yang menerangi ruang kegelapan dan ketidakpastian dalam dirinya.
        Guru yang “baik” mengemuka dalam beragam wajah. Ingatlah guru favorit kita, mungkin karena ketrampilannya seorang guru mampu membuat anak-anak “tertawa” di kelas? Atau mentertawakan dirinya sendiri. Dengan itu mereka seolah melupakan ketegangan yang dialaminya seharian. Juga barangkali, karena antusiasme yang dimiliki si guru saat mengajar. Ia seolah mampu “menghipnotis” anak-anak menjadi lebih antusias dengan pelajaran yang sedang ditekuninnya.
        Wajah guru yang “baik” ternyata lebih mudah kita jumpai dalam diri para muridnya. Mereka menjadi cermin, ia memantulkan “wajah” nyata yang ada di depannya. Murid yang telah menjadi “orang” biasanya akan bercerita tentang gurunya dengan bangga, dia akan mudah berbagi pengalaman bagaimana dia di-“ubah” oleh sang guru.
        Guru yang “baik” tertunduk sedih menyaksikan muridnya gagal menjadi “orang” dalam hidupnya. Kegagalan si murid adalah andil sang guru juga. Inilah relasi “hati” guru – murid. Menjadi guru, memang berbeda dengan “bekerja” sebagai guru. Ia lebih dari itu. Ia adalah sebuah “panggilan”.
        Guru yang “baik” teramat penting dalam hidup ini. Ia lebih penting daripada sepasukan perang. Tak heran bagaimana Jepang menempatkan guru begitu istimewa. Ingatkah kita bagaimana reaksi sang Kaisar sesaat setelah kehancuran Nagasaki dan Hiroshima dalam perang dunia II. Bukan jumlah pasukan perang yang tersisa yang ditanyakannya. Sebaliknya justru ia bertanya “masih ada berapa banyak guru (“baik”) yang tersisa di sana?”. Bisa dibayangkan “perjumpaan” batin macam apa yang pernah dialami sang Kaisar itu, hingga dia mengatakan sepenggal kalimat yang begitu dalam maknanya.
        Guru yang “baik”, menurut Grosswith, R (2007), selalu belajar dengan mengajar (lewat mengajar ia mendidik) para muridnya, dan dengan mengajar sang guru memiliki kesempatan untuk terus belajar dari para muridnya, seperti ditulis dalam refleksinya berjudul “Personal Reflections on Teaching” yang dimuat di Kappa Delta Pi Record dua tahun lalu.
Nah, guru macam apa yang mau kita rindukan. Menghadirkan sosok guru yang “baik” bagi anak-anak kita, tidak mudah bukan ?(taken from http://refleksiana.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar